Blaise Pascal - ilmuwan abad ke-17
Belakangan ini berita-berita di koran atau televisi sungguh menyeramkan dan me-resahkan hati. Mulai dari kasus penganiayaan praja sebuah institut pendidikan, suami yang membunuh istrinya, sampai ibu yang tega meracuni anaknya sendiri, lalu dia bunuh diri. Apa yang sebenamya yang dialami oleh mereka itu, yang seolah kehilangan hati nurani?
SULIT MERASAKAN PERASAAN
Berbagai permasalahan dan ketidakbahagiaan manusia zaman sekarang bersumber dari emosi. Menurut Erbe Sentanu, pendiri lembaga transformasi diri Katahati Institute, salah satu penyebab adalah karena mereka membiarkan diri disetir oleh akal (olak) sehingga sulit memahami dan mengungkapkan emosi sendiri. Seperti kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang dipicu oleh cemburu atau ledakan emosi marah. Sementara seorang ibu dilanda depresi karena terlalu sering memendam perasaan, sehingga ia pun bunuh diri dan tega membunuh anaknya sendiri.
Emosi selalu dianggap lemah dan cenderung diabaikan. Sejak kecil kita dididik di dalam sistem yang lebih mengutamakan IQ (kecerdasan otak) daripada EQ (kecerdasan emosi). Sementara dalam budaya Tiinur, kita diajarkan untuk ‘mengekang’ emosi, di mana pria tidak boleh menangis dan wanita harus pandai memendam perasaan.
Semakin dewasa, ruang ekspresi itu pun kian terbatas karena kita dituntut untuk lebih pandai mengendalikan emosi. Lama kelamaan, emosi kita pun menjadi semakin ‘lemah’. Bahkan wanita yang semula dianggap lebih berperasaan dibanding pria, semakin mirip pria yang sulit mengakui perasaannya.
Kehidupan yang super-sibuk dan ‘keras’ juga membuat wanita hams bersikap tegar. Sehingga tanpa sadar kita pun terbiasa menekan perasaan. Dan, ketika emosi sedang bergejolak, kita terbiasa mengalihkannya dengan membahas, ‘mengapa saya sedih, seharus-nyakah saya marah’. Dengan kata lain, kita lebih sering memikirkan (di kepala) perasaan ketimbang merasakannya (di dada).
MEMAHAMI EMOSI
Seperti halnya pikiran untuk dipikirkan, maka perasaan (emosi) untuk dirasakan. Selama ini kita cenderung menafsirkan kata ‘mengendalikan emosi’ dengan memendam atau mengekang emosi. Padahal sejatinya berasal dari emotion, dalam bahasa Inggris, ‘e’ kependekan dari electromagnetic, berarti gelombang elektromagnetik dan motion yang berarti gerakan. Jadi emosi adalah gelombang elektromagnetik yang bergerak di dalam tubuh kita.
Karenanya, emosi memiliki beberapa sifat, antara lain:
• Tarik-menarik. la akan menarik segala hal yang sama sifatnya. Maka, jika kita memulai hati dengan perasaan tidak enak, akan mengundang hal-hal yang tidak mengenakkan pula. Begitu pula kalau kita selalu merasa sedih, akan cenderung menarik sesuatu yang menyedihkan dan sulit menarik sesuatu yang bersifat bahagia.
• Selalu ingin bebas. Seperti sifat energi lainnya, emosi harus dilepas atau diekspresikan. Kalau tidak dilepaskan (supress), ia akan ‘bersembunyi’ di dalam bawah sadar kita dan terus aktif mencari celah untuk keluar. Manifestasinya bisa muncul dalam berbagai gangguan fisik (migrain, maag, kanker, stroke), psikis (stres, depresi), bahkan jiwa (psikopat).
KUNCINYA : IKHLAS
Kalau seorang pilot membutuhkan alat navigasi untuk mengendalikan pesawat sampai ke tujuan, maka emosi dirancang supercanggih oleh Tuhan untuk menuntun kita pada tujuan hidup, yaitu kebahagiaan.
Melalui emosi kita bisa mengetahui apakah kita masih berada di zona nafsu (yang diliputi berbagai emosi negatif, seperti marah, takut, cemas) atau sudah berada di zona ikhlas (diliputi oleh rasa nyaman, tenang, damai), di mana kita bisa menemukan kebahagiaan sejati.
Namun karena kurang paham menggunakan ‘instrumen’ tersebut (emosi), kita mudah lepas kendali dan terjebak di zona nafsu. Berbagai masalah timbul karena kita bertindak di saat hati masih dikuasai nafsu.
Mengendalikan emosi artinya bukan mengekang-nya, tapi justru melepaskannya. Namun yang dilepas-kan di sini adalah nafsu. Agar terbebas dari emosi, kita tidak boleh lari dari perasaan. Sebaliknya kita harus mau menerima dan menghadapinya dengan ikhlas. Kondisi ikhlas hanya dapat dirasakan ketika otak (pikir-an) dan hati (perasaan) berjalan selaras.
Berdasarkan studi, frekuensi otak, dan hati bisa bertemu pada gelombang alfa (bawah sadar) atau ketika tubuh dalam kondisi relaks seperti saat bermedi-tasi atau berzikir. Dalam kondisi ini kita harus ‘berdia-log’ dengan hati untuk merasakan semua sensasi emosi yang muncul. Jadi ketika kita sedang bersedih, jangan ditahan atau dihindari. Sambutlah perasaan itu apa adanya dan biarkan hati Anda menjerit atau menangis-lah sepuasnya sampai Anda merasa ‘plong’. Perasaan lega, tenang, dan damai inilah yang menandakan kita sudah merasa ikhlas.
Untuk melakukannya, mungkin awalnya sulit. Tapi kalau kita rajin melatih ‘otot’ ikhlas ini, lama-kelamaan akan semakin kuat dan bekerja secara otomatis. Jadi, apapun masalah Anda, pastikan hati Anda dalam posisi ikhlas sebelum melangkah. Dijamin segalanya terasa mudah dan hidup menjadi lebih happy.
Sumber : http://erbesentanu.com/2007/10/18/seni-menata-hati/